POSTING

Jika ingin memberi komentar blog ini mohon kirimkan naskah/ komentar ke

Minggu, 31 Januari 2010

SEJARAH SINGKAT GKJW JEMAAT TUNJUNGSEKAR

Sejarah berdirinya GKJW Jemaat Tunjungsekar tidak dapat dipisahkan dengan jemaat Tulangbawang sebagai jemaat induk yang membesarkannya. Sepuluh tahun setelah Tulangbawang didewasakan (30 september 1975), perkembangan warga di wilayah pelayanan bagian utara sangat pesat, sehingga dibentuk Rayon Utara meliputi kelompok 11,12, dan 13. Ketiga kelompok ini mencakup Pandanwangi, Blimbing, Sudimoro, Tunjungsekar, Purwodadi dan Arjosari
Sehubungan dengan kesulitan transportasi untuk beribadah ke Tulangbawang saat itu, maka diusulkan mendirikan tempat ibadah untuk warga Rayon Utara. Lokasi yang dimaksud adalah tabah seluas 240 m2 persembahan keluarga Bp. Pramono DW, yang terletak di sudimoro. Ketika panitia pembangunan tempat ibadah belum sempat bekerja, Majelis Jemaat Tulangbawang disarankan oleh Walikota KDH TK II Malang Dr Tom Uripan Nitihardjo,SH agar mencari lokasi yang lebih luas, sehingga kelak dapat menampung jemaat yang lebih banyak. Tuhan memberkati akhirnya mendapatkan tanah di jl. Piranha Atas, desa Tunjungsekar seluas 1690 m2 yang kelak menjadi gedung gereja yang ditempati saat ini. Tanah ini dibeli dari penduduk persembahan keluarga Bp. Pramono DW.
Berbekal tanah tersebut, maka dimulailah rencana pembangunan gedung gereja dengan membentuk panitia pembangunan gereja. Perjanjian diurus, pendanaan digalang, Doa dan permohonan dinaikan, jatuh bangun panitia pembangunan tetap berusaha untuk mewujudkan asa/harapan yang menjadi visi para pendahulu pendiri gereja . Beberapa ibadah simbolis dilaksanakan diatas tanah yang dibangun, akhirnya Tuhan mendengarkan dan memperhatikan kerja keras, cucuran keringat dan doa umatnya. Pada tanggal 5 Agustus 1988 dilakukan upacara peletakan batu pertam oleh Walikota KDH Tk II Malang Dr Tom Uripan,SH disaksikan oleh beberapa pejabat pemerintah POLRI dan TNI, demikian juga panitia dan warga gereja lainnya.
Batu pertama adalah batu marmer berukuran panjang 40 cm, lebar 30 cm dan tebal 20 cm dibubuhi prasasti ” Karena tidak seorangpun yang dapat meletakan dasar lain daripada dasar yang diletakan yaitu Yesus Kristus ” (I Korintus 3: 11). Batu pertama ini dibungkus dengan mika kemudian ditanam tepat pada titik diagonal bangunan gereja yang akan didirikan.
Ketika pelaksanaan pembangunan gedung gereja dimulai, pelayanan ibadah kelompok Rayon Utara terus berjalan. Sedangkan pelayanan ibadah minggu dilaksanakan dirumah keluarga Matias Poeger Jl Piranha Bawah 49. Karena bertambahnya warga sehingga rumah tidak dapat menampung lagi, maka ibadah minggu dipindahkan ke rumah keluarga Bp. Djoko di jl. Piranha Atas. Pada tahun 1991, kegiatan ibadah minggu, ibadah anak dan kegiatan gerejani lainnya dipindahkan ke gedung gereja, meskipun pada saat itu belum selesai pembangunannya.
Dua kelompok rayon utara yang menjadi inti calon jemaat Tunjungsekar adalah kelompok 12 dan 13 dan beberapa warga kelompok 11 jemaat Tulangbawang.Perkembangan warga begitu cepat, seiring dengan pengembangan kota Malang bagian utara, maka warga yang bergabung semakin meluas sampai ke karanglo, tunjungtirto bahkan sampai ke mondoroko. Untuk lebih mengintensifkan pelayanan kelompok 13 dikembangkan menjadi kelompok 13 dan 14. Tiga kelompok ini yang kemudian menajdi kekuatan sebagai calon jemaat untuk diusulkan pendewasaannya.
Proses pembangunan terus berjalan, dari tiga buah rancang bangun gedung gereja yang dipersiapkan oleh panitia, salah satu disetujui dan hasilnya seperti apa yang dapat dilaht saat ini tahun (2006). Pembangunan gedung berjalan lambat, karena sering terbentur dengan kondisi pendanaan, namun dengan kekuatan dan keyakinan bahwa Allah akan mencukupi segala kebutuhan, kegigihan panitia dan warga tidak surut. Setelah melampaui 6 (6) tahapanpembangunan yang melelahkan, hingga kepanitiaan ganti dua kali, akhirnya pada tanggal 24 Maret 1996 rumah ibadah GKJW Tunjungsekar diresmikan pemakaiannya oleh Walikota KDH Tk II Malang, yang waktu itu dijabat oleh Bp Soesamto. Peresmian pemakaian rumah ibadah bersamaan dengan “ Ibadah Pendewasaan Jemaat” yaitu peningkatan status dari calon jemaat menjadi JEMAAT Tunjungsekar oleh ketua Majelis Agung Prof Wismo Adi Wahono Phd. Mulai saat itu jemaat Tunjungsekar menjadi jemaat yang mandiri dan setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai hari jadi jemaat Tunjungsekar.
Setelah jemaat dewasa kelompok 12,13,14 menjadi kelompok 1,2,3. Pertumbuhan jemaat terus berlanjut, warga jemaat terus bertambah, maka pada pleno Majelis Jemaat Tunjungsekar tanggal 26 Oktober 1997, pelayanan warga dipecah menjadi 7 kelompok yaitu kelompok 1 menjadi kelompok 1 dan 2 baru kelompok 2 lama menjadi kelompok3 dan 4 baru kelompok 3 menjadi kelompok 5, 6 dan tujuh baru dan pada tahun 2007 kelompok 7 dipecah menaji kelompok 7 baru dan kelompok 8 (banjararum dan mondoroko)
Perjalanan sampai tahun yang kesepuluh jemaat dilayani oleh dua orang pendeta. Pertama Pdt Ardi Tjahyo Wibowo,STh yang bertugas mulai maret 1996 sampai dengan September 2003 yang kemudian dimutasikan ke jemaat Tempursari . Periode September 2003 sampai dengan saat ini dilayani Bp. Pdt Adi Sanyoto STh yang sebelumnya bertugas di Jemaat Simomulyo Surabaya
Pada perkembangannya berkat kasih penyertaan pemeliharaan Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja dicurahkan atas Jemaat Tunjungsekar tercermin dari RAPBJ SEBAGAI BERIKUT
Tahun 1996 KK 125 Warga 458 RAPBJ 12.000.000
Tahun 1997 KK 130 Warga 451 RAPBJ 21.000.000
Tahun 1998 KK 155 Warga 552 RAPBJ 40.000.000
Tahun 1999 KK 154 Warga 540 RAPBJ 48.000.000
Tahun 2000 KK 156 Warga 518 RAPBJ 50.000.000
Tahun 2001 KK 171 Warga 566 RAPBJ 76.000.000
Tahun 2002 KK 167 Warga 563 RAPBJ 90.000.000
Tahun 2003 KK 180 Warga 600 RAPBJ 108.000.000
Tahun 2004 KK 187 Warga 614 RAPBJ 123.000.000
Tahun 2005 KK 178 Warga 591 RAPBJ 155.000.000
Tahun 2006 KK ….. Warga ….. RAPBJ 190.000.000
Perkembangan pergantian majelis Tunjungsekar sampai dengan saat ini sudah berganti 5 daur dari tahun 1998-2000, 2001-2003, 2004-2006, 2007-2009 dan 2010-2012
Dalam perkembangannya jemaat semakin meningkat yang kemudian diikuti oleh peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan komisi-komisi dan pada tahun-tahun yang terus berjalan ada perubahan interior gereja serta adanya pembangunan pagar sebelah barat gereja pada tahun 2009 yang dilanjutkan pembanganunan balai serbaguna di timur gereja yang dimulai pembangunannya ( peletakan batu pertama) pada hari senin 11 Januari 2010.
Demikian sejarah singkat yang diambil dari buku kenangan satu dasawarsa GKJW Jemaat Tunjungsekar tahun 2006 .Mari kita bersama banyak berbuat untuk kemulyaanNya ( Tuhan Yesus) Sang Gembala Yang Agung.
Tuhan yesus memberkati kita , Amiiin

Jumat, 29 Januari 2010

Memahami Makna Persembahan

Ada begitu banyak warga jemaat yang menanyakan tentang: Persembahan yang benar itu yang bagaimana? Mengapa di GKJW tidak ditekankan persembahan persepuluhan? Pada satu sisi pertanyaan-pertanyaan ini menyenangkan, karena tersirat adanya semangat untuk mempersembahkan secara bertanggungjawab. Namun di sisi lain, juga sedikit merisaukan, mengapa? Karena sudah begitu lama kita hidup sebagai orang percaya, tetapi mengapa sesuatu yang seharusnya sudah menjadi bagian atau bahkan identitas setiap orang percaya, ternyata masih menjadi pertanyaan. Apakah hal ini disebabkan karena Alkitab kurang jelas memberikan gambaran tentang persembahan? Ataukah karena tidak ada ajaran secara resmi dan baku dari Greja Kristen Jawi Wetan tentang persembahan? Ataukah gereja tidak cukup sering memberi pemahaman tentang persembahan? Atau bingung karena ada bermacam-macam persembahan: persembahan perpuluhan, persembahan bulanan, persembahan kemandirian, dll? Bagaimana pun pertanyaan di atas harus dijawab. Untuk menjawab pertanyaan di atas, berikut ini akan disampaikan terlebih dahulu beberapa kesaksian atau ungkapan, dan hasil percakapan yang berhubungan dengan persembahan dari beberapa orang yang sempat saya catat.
1. Seorang ibu menerima wesel dari anaknya yang telah berkeluarga. Keadaan keluarga anaknya secara ekonomi termasuk sederhana. Di kertas wesel di kolom berita tertulis sbb. Sekian rupiah tolong dimasukkan ke kantong kolekte gereja (keluarga ini memiliki kenangan manis saat sekolah minggu); sekian rupiah tolong diberikan kepada penarik gerobak sampah; sekian ribu rupiah tolong diberikan kepada pembantu rumah. Sang ibu sangat terharu menerima wesel itu, karena anaknya -sekalipun hidupnya sederhana- namun masih mau mengingat orang lain. (GKJW Jemaat Surabaya, tahun 1985)
2. Pada petang hari seorang janda yang hidupnya sederhana menemui Pak Pendeta. Dia bercerita “Pak, saya baru saja menjual rumah kecil saya seharga 25 juta rp. Anak saya sudah berkeluarga semua. Sebagian uang itu saya berikan kepada anak saya, dan ini 5 juta rp. saya serahkan untuk gereja” (GKJW Jemaat Malang, 1999)
3. Untuk membedakan apakah seseorang adalah warga jemaat yang sungguh-sungguh mempraktekkan cara hidup bersyukur atau tidak, itu sederhana saja. Lihatlah bagaimana ia menyusun prioritas pengeluaran atas gaji atau penghasilannya. Orang percaya yang baik akan menempatkan persembahan sebagai urutan pertama (bukan soal; jumlahnya), tetapi prinsip sikap bahwa pengeluaran pertama yang segera harus disisihkan adalah persembahan (persembahan bulanan, Minggu, dll), baru pengeluaran lainnya. Prinsip ini adalah tanda pengakuan bahwa tanpa berkat Tuhan kita tidak bisa apa-apa. (GKJW Jemaat Malang, 2002).
4. Seorang warga jemaat menemui kasir di kantor gereja untuk menyerahkan persembahan. Dia sodorkan seratus ribu rupiah, kepada kasir, namun sesaat kemudian ia menarik kembali uang seratus ribu itu, dan diganti dengan uang lima puluh ribu, sambil mengatakan “ah, kebanyakan.” Padahal Ybs. secara ekonomi termasuk kategori berkecukupan. (GKJW Jemaat Malang, 2002)
5. Jemaat ingin membeli tanah untuk membangun gereja baru. Panitia hanya memiliki uang 5 juta. Lalu ada seseorang yang menawarkan se bidang tanah seharga 204 juta rupiah. Pemilik tanah memberi waktu kepada panitia kurang dari sebulan. Panitia bingung, mungkinkah tanah itu terbeli? Namun hanya selang beberapa hari setelah penawaran itu, seorang warga jemaat menemui pendeta. “Pak, jangan bilang siapa-siapa. Biarlah uang 204 juta rupiah itu saya yang melunasinya. Saya sudah membicarakan dengan istri dan anak saya, dan mereka semua setuju!” (GKJW Jemaat Malang 2002)
6. Seorang Bapak mengatakan kepada Pendeta “Saya sangat bersyukur dan terharu ketika anak saya menyerahkan gaji pertamanya ke gereja..” (GKJW Jemaat Malang, 2000)
7. Seorang gadis akan memasuki usia ke 17. Orang tuanya bertanya “Kamu mau hadiah apa?” Si gadis menjawab “Minta dibelikan organ”. “Lho, kita, kan, sudah punya organ!” sahut orang tua si gadis. “Organ itu bukan untuk kita, tetapi akan kita serahkan ke satu jemaat kecil. Sebab sewaktu saya berkunjung ke sana, jemaat itu tidak memiliki organ” kata si gadis. (GKJW Jemaat Jombang, 1989)
8. Mbah Kahar -seorang kakek warga GKJW Jemaat Sukolilo- setiap bulan mendapatkan bantuan uang dari gerja untuk meringankan beban hidupnya sehari-hari. Pada bulan april yang lalu (2004) ia dipanggil Tuhan. Hal yang membuat semua warga jemaat terharu adalah ia membuat “wasiat” yang isinya adalah pesan agar sebuah amplop yang isinya Rp 10.000; (sepuluh ribu rupiah) agar diserahkan ke gereja untuk persembahan. Ditengah kemiskinan, ia memiliki jiwa mempersembahkan yang luar biasa. Ia mempersembahkan jauh lebih besar daripada sepersepuluh (persepuluhan) dari yang ia miliki. (Informasi dari Pdt. Suko Tiyarno, MTh. GKJW Jemaat Sukolilo, 2004).
Dari contoh-contoh di atas menjadi amat jelas bagi kita, betapa beraneka ragamnya cara kita menghayati dan mewujudkan makna persembahan. Kita bisa menggumuli di antara kejadian-kejadian di atas, mana yang kiranya lebih berkenan di hadapan Tuhan, dan mana yang tidak. Sekarang di bawah ini akan disampaikan kesaksian Alkitab tentang persembahan. Persembahan di Perjanjian Lama
1. Kita mulai dari kitab Kejadian 4. Di sini kita berjumpa dengan persembahan oleh Kain dan Habil. Tidak disebutkan persyaratan persembahan. Mereka hanya mempersembahkan sebagian dari harta yang mereka miliki. Kita tidak tahu mengapa persembahan Kain ditolak, sementara persembahan Habil diterima. Kita berhadapan dengan “hak prerogatif/ istimewa” Allah dalam menilai persembahan. Artinya, siapa pun bisa saja mengklaim telah mempraktekkan pemberian persembahan secara benar, tetapi pada hakekatnya penilai sejati hanya Tuhan. Kain bisa saja merasa telah memberikan yang terbaik untuk Tuhan, tetapi di depan Tuhan apa yang dianggap terbaik bagi manusia bisa berarti belum apa-apa di hadapan Tuhan.
2. Persembahan agaknya tidak hanya ditujukan kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama manusia (dalam hal ini atasn, raja). Perhatikan dua kutipan dari Kejadian 43:11-15 dan Yehezkiel 45: 16.
3. Perjanjian Lama juga menyampaikan informasi tentang adanya persembahan khusus dari setiap orang yang tergerak hatinya untuk membantu terpenuhinya kebutuhan bagi rumah Tuhan, jadi bukan merupakan kewajiban bagi setiap orang. Fakta ini menyiratkan bahwa di jemaat selalu saja ada sebagian warga jemaat yang memiliki kepekaan yang amat tinggi untuk menyisihkan sebagian dari hartanya untuk keperluan gereja. Perhatikan isi kitab Keluaran 35:21 di bawah ini. “Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, setiap orang yang terdorong jiwanya, membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan dan untuk segala ibadah di dalamnya dan untuk pakaian kudus itu.”
4. Persembahan pendamaian yaitu persembahan yang diserahkan oleh umat Tuhan pada jaman dahulu untuk “menebus” pelanggaran yang mereka lakukan dalam hidup. Dengan menyerahkan persembahan pendamaian, maka hidup mereka kembali disucikan. Perhatikan, misalnya Keluaran 30: 20-dst
5. Ada pula persembahan yang hanya boleh digunakan oleh orang tertentu (keluarga Imam), orang lain tidak boleh. Perhatikan Imamat 22: 10-12 “10 Setiap orang awam janganlah memakan persembahan kudus; demikian juga pendatang yang tinggal pada imam ataupun orang upahan.11 Tetapi apabila seseorang telah dibeli oleh imam dengan uangnya menjadi budak beliannya, maka orang itu boleh turut memakannya, demikian juga mereka yang lahir di rumahnya.12 Apabila anak perempuan imam bersuamikan orang awam, janganlah ia makan persembahan khusus dari persembahan-persembahan kudus.”
6. Menyerahkan beberapa persembahan sekaligus, yaitu persembahan persepuluhan,persembahan khusus, dan persembahan korban bakaran. Perhatikan Keluaran 12: 11 “…maka ke tempat yang dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya diam di sana, haruslah kamu bawa semuanya yang kuperintahkan kepadamu, yakni korban bakaran dan korban sembelihanmu, persembahan persepuluhanmu dan persembahan khususmu dan segala korban nazarmu yang terpilih, yang kamu nazarkan kepada TUHAN.
7. Menyerahkan persembahan persepuluhan (Maleakhi 3: 10) “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Tentang persembahan persepuluhan ini dalam prakteknya ternyata tidak sederhana, karena bukan sekedar sepersepuluh dari penghasilan. Kita perhatikan misalnya pada kitab Imamat 27: 30 : “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN. 31 Tetapi jikalau seseorang mau menebus juga sebagian dari persembahan persepuluhannya itu, maka ia harus menambah seperlima. 32 Mengenai segala persembahan persepuluhan dari lembu sapi atau kambing domba, maka dari segala yang lewat dari bawah tongkat gembala waktu dihitung, setiap yang kesepuluh harus menjadi persembahan kudus bagi Tuhan”Dalam tradisi umat Israel Perjanjian Lama persembahan persepuluhan ini diberikan kepada kaum Lewi. Mengapa? Karena mereka tidak memiliki mata pencaharian lain selain bekerja di bait Allah, di samping itu mereka tidak mendapatkan harta warisan. Perhatikan kitab Bilangan 18:21 “Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan.” Sebaliknya, kaum Lewi juga mempunyai kewajiban menyerahkan sepersepuluh dari persembahan persepuluhan yang mereka terima.
Catatan: Sebenarnya di Perjanjian Lama masih terdapat banyak lagi aturan tentang persembahan atau korban, tetapi untuk kali ini, contoh-contoh di atas dipandang cukup untuk memberi gambaran betapa perihal persembahan di Perjanjian Lama tidak sederhana. Persembahan di Perjanjian Baru Persembahan sebagai simbol rasa hormat dan kerinduan untuk memuliakan Tuhan. Perhatikan Injil Matius 2:11 “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” Di ayat ini tidak disebutkan satuan dari barang yang dipersembahkan. Artinya, kita tidak tahu jumlah yang mereka persembahkan: Apakah sepersepuluh dari yang mereka miliki atau…? Kita hanya bisa menduga bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik yang mereka miliki untuk Tuhannya. Tuhan Yesus agaknya tidak mengutamakan persembahan dalam arti uang atau benda, tetapi yang jauh lebih penting adalah kesediaan seseorang untuk bertobat. Perhatikan Injil Matius 9:13 “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” Bukan jumlah atau banyak-sedikitnya persembahan yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus, melainkan bobot pengorbanan yang mendasari persembahan yang diberikan. Pemahaman ini bisa kita baca di Injil Markus 12: 41: “Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. 42 Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. 43 Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. 44 Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” Secara jumlah pasti amat sedikit yang diberikan oleh janda itu, tetapi secara prosentase dibandingkan dengan harta yang dimiliki, nilainya bisa lebih dari 100% (”..ia memberi dari kekurangannya…”). Sebaliknya persembahan dari orang kaya, secara jumlah pasti lebih besar, tetapi secara prosentase dari harta milik mereka, pastilah tidak lebih dari 1/10 (”…mereka memberi dari kelimpahannya….”). Janda miskin memberi persembahan dengan bobot pengorbanan yang amat besar, sementara orang kaya memberi persembahan dengan ringan saja -tanpa beban dan pengorbanan- karena memang hanya diambilkan sebagian kecil (sangat kecil?) dari harta miliknya. Rasul Paulus sebagai salah satu tokoh Alkitab menghayati persembahan bukan hanya uang atau benda, tetapi seluruh hidup. Perhatikan Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Istilah “tubuh = seluruh hidup” artinya menghayati dan mempraktekkan hidup untuk memusatkan perhatian kepada orang lain, bukan lagi untuk dirinya sendiri. Bandingkan dengan Injil Yohanes 21: 18 “…tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Bandingkan juga dengan cerita tentang anak muda yang kaya. Ia sudah menjalankan semua ajaran di Perjanjian Lama (tentunya termasuk persembahan persepuluhan dan jenis-jenis persembahan lainnya), tetapi di depan Yesus anak muda itu dianggap belum melakukan sesuatu yang berarti (Matius 19:21″ Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.“) Dan, ternyata, pemuda tadi masih lebih terikat pada hartanya daripada terikat pada Kristus. Perhatikan 2 Timotius 4:6 “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.” Pada usia lanjut Rasul Paulus menenggok ke belakang, bagaimana ia telah mencurahkan segala yang ia miliki -jasmani dan rohani- untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Kata “darah” di dalam kalimat di atas adalah juga melambangkan berbagai penderitaan dan kesusahan yang pernah dialaminya sebagai pemberita injil, dan itu dihayati sebagai bagian dari persembahan yang diberikan Paulus kepada Tuhan. Perhatikan Ibrani 10:8 “Di atas Ia berkata: “Korban dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau kehendaki dan Engkau tidak berkenan kepadanya” meskipun dipersembahkan menurut hukum Taurat.” Pada ayat ini kita mendapat gambaran tentang pemahaman yang baru tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sementara di Perjanjian Lama hubungan itu antara lain ditandai dengan persembahan sebagai simbol kesetiaan dan kepatuhan umat terhadap Tuhannya, sedangkan di dalam Perjanjian Baru hubungan antara manusia dengan Tuhan ditandai dengan pemberian anugerah keselamatan dari Yesus Kristus. Di Perjanjian Baru kesetiaan dan kepatuhan orang percaya kepada Tuhan-nya tidak lagi ditandai oleh besar kecilnya persembahan, tetapi oleh cara hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerajaan Allah, yaitu: kasih, keadilan, kebenaran, suka cita, damai sejahtera. Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini.
• Perhatikan Matius 23:23 “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”
• Perhatikan Lukas 11:42 “Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”
• Perhatikan 1 Petrus 2:5 “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.” Ayat ini ingin menegaskan tentang makna iman Kristen yang sudah mengalami pembaharuan karena pengorbanan Kristus. Hal yang terpenting bukan lagi memberi persembahan yang berupa benda, karena persembahan berupa benda tidak lagi menentukan keselamatan seseorang. Persembahan rohani jauh lebih berharga, yaitu hati bersih yang menerangi setiap tutur kata dan perbuatan kita setiap saat.
Lalu Bagaimana? Baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memberikan informasi yang amat beragam tentang persembahan. Tentulah tidak bijak kalau kita hanya mau menekankan atau mengambil satu jenis persembahan yang terdapat di Perjanjian Lama, dan mengesampingkan macam-macam persembahan lainnya. Oleh karena itu menjadi semakin jelas bagi kita bahwa saat ini, untuk memahami persembahan, tidak bisa lagi diambil secara hurufiah baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sebab kalau kita mengambil begitu saja makna persembahan/ persembahan korban dari Alkitab, pastilah akan kita temui berbagai kesulitan. Sebab aturan tentang persembahan di Perjanjian Lama amat rumit. Contoh kerumitannya, misalnya, bagaimana kita memahami aturan di Perjanjian Lama “memberi persembahan terbaik buat Tuhan?” Ternyata yang dimaksud adalah, kalau persembahan berupa korban binatang, maka kata “..terbaik..” itu artinya: jantan lebih diutamakan (Imamat 1:3); berumur 3 tahun (I Samuel 1: 24); fisiknya sempurna (Imamat 3:1), warna merah (Bilangan 19: 2). Satu contoh lagi, dapatkah kita menerapkan begitu saja isi Injil Matius 10:10 ini “Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya.” Apakah aturan semacam ini akan kita ambil dan terapkan begitu saja untuk konteks saat ini, tentu tidak bukan? Masih ada banyak lagi bagian dari Alkitab yang tidak bisa diterapkan secara langsung untuk kehidupan saat ini, harus dirumuskan terlebih dahulu. Demikian pula halnya dengan persembahan kita tidak bisa menyatakan bahwa persembahan yang satu lebih utama daripada jenis persembahan lainnya. Kalau kita mau menekankan secara hurufiah satu jenis persembahan (misalnya persepuluhan), maka kita tidak bisa membuang begitu saja aturan persembahan lainnya yang tertulis di Alkitab. Sebab di sini muncul persoalan: Siapa yang bisa memastikan bahwa persembahan yang kita prioritaskan itu sungguh-sungguh lebih berkenan di hadapan Tuhan? Oleh karena itu kita perlu belajar untuk rendah hati dan mau menyadari keterbatasan pemahaman kita atas isi Alkitab. Konsep persembahan di Perjanjian Lama antara lain adalah sebagai sarana pembinaan umat dan sebagai tanda kesetiaan dan kepatuhan umat terhadap Tuhan. Bagi umat Israel di jaman Perjanjian Lama, hukum itu memang mutlak. Kesetiaan dan kepatuhan umat Israel Perjanjian Lama terhadap aturan persembahan itu mengikat sekali. Artinya, ketidaksetiaan dan ketidakpatuhan mereka terhadap aturan itu akan membawa mereka kepada kebinasaan (Perhatikan kitab Amos 5: 7 dst.). Sedangkan konsep persembahan di Perjanjian Baru berbeda. Persembahan tidak menentukan keselamatan, tetapi sebagai salah satu buah ucapan syukur. Barangkali ilustrasi berikut ini bisa sedikit membantu. Hubungan antara Allah dengan umat Israel di Perjanjian Lama ibarat orang tua (Tuhan) dengan anak kecil (umat Israel). Orang tua bisa membuat aturan yang tegas untuk anaknya yang masih kecil: Pulang sekolah cuci tangan, ganti baju, makan siang lalu istirahat; pukul 16.00 mandi; pukul 16.30- 17-30 nonton TV atau bermain; dst. Tidak patuh terhadap aturan itu dihukum! Aturan semacam itu amat diperlukan untuk pembinaan, latihan disiplin dan persiapan masa depan. Perjanjian Baru tidak lagi seperti itu, Tuhan telah menempatkan manusia pada posisi orang dewasa, seseorang yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri (Yohanes 3: 16). Tentulah tidak wajar kalau kepada anak yang sudah mahasiswa, orang tua tetap memberlakukan aturan: Pukul 16.00 harus mandi, pukul 17.00 nonton TV, pukul 19.00 belajar, dst. Bukankah orang tua cukup mengatakan “Kamu sudah besar/dewasa: Belajarlah baik-baik!” Seorang anak yang sudah dewasa sudah bisa menangkap makna perintah sederhana itu. Sedangkan dalam prakteknya anak yang dewasa itu bisa saja menata sendiri irama hidupnya dengan mengikuti aturan yang berlaku saat ia masih kecil. Bedanya adalah, ketika masih kanak-kanak ia setia dan patuh kepada aturan karena takut hukuman, sedangkan ketika dewasa ia melaksanakan peraturan itu dengan kesadarannya sendiri, dengan rasa syukur, bukan karena takut hukuman. Demikian pula halnya dengan pemahaman tentang persembahan. Kesimpulan Setelah kita amati perihal persembahan baik di Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru, maka kita menyimpulkan tentang persembahan sbb.:
• Persembahan yang kita lakukan saat ini bukan lagi sebagai “korban” baik untuk penebusan dosa atau sebagai “alat” untuk mendapatkan berkat dari Tuhan. Tuhan Yesus dengan karya penebusanNya telah memperbaharui secara mendasar makna persembahan. Jangankan sepersepuluh, mempersembahkan sepertiga atau setengah dari yang kita miliki pun tidak akan cukup untuk mensyukuri kebaikan Tuhan. Oleh karena itu Tuhan Yesus tidak pernah menyinggung soal jumlah dalam hal persembahan.
• Persembahan sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita. Hal yang paling utama dalam persembahan adalah hati yang bersyukur. Persembahan juga sebagai wujud nyata pengakuan kita bahwa tanpa berkat Tuhan kita tidak bisa apa-apa.
• Persembahan sebagai wujud nyata kesediaan kita untuk turut menopang pekerjaan Tuhan di dunia ini.
• Persembahan sebagai wujud nyata kesediaan kita untuk tidak membiarkan uang dan harta benda menguasai hidup kita, dengan cara mau mengurangi uang atau harta benda yang ada pada diri kita untuk kebutuhan pelayanan.
Catatan: Dengan pemahaman di atas bukan berarti kita bisa seenaknya memberikan persembahan. Kalau kita sudah dewasa pastilah akan secara dewasa pula memahami hal-hal di atas. Artinya, besar kecilnya persembahan (tentulah sesuai dengan keadaan masing-masing) bisa menjadi salah satu tanda kedewasaan iman seseorang. Langkah Praktis Secara teknis persembahan bisa kita wujudkan berupa persembahan rutin dan persembahan khusus. Persembahan rutin: Persembahan yang secara ajeg kita siapkan, misalnya:
• Persembahan bulanan, atau kalau mau memakai istilah persepuluhan (Maleakhi 3) atau seperlima (Imamat 6) juga tidak masalah. Catatan: Persembahan persepuluhan atau seperlima disebut di atas semata-mata hanya sebagai salah satu pilihan cara kita mendisiplin diri dalam bersyukur kepada Tuhan. Sebab, kita tidak lagi menerapkan persepuluhan seperti di Perjanjian Lama, sebab kalau diterapkan persis seperti di Perjanjian Lama akan berbenturan dengan aturan gereja (GKJW). Karena di Perjanjian Lama persembahan persepuluhan diberikan kepada kaum Lewi (untuk jaman sekarang -kira-kira- mirip pendeta). Padahal di GKJW persembahan apa pun dipakai untuk berbagai macam kebutuhan gereja.
• Persembahan untuk ibadat-ibadat (Minggu, Hari Raya Persembahan, Ibadat Rumah tangga, dlsb.)
Persembahan khusus: Persembahan yang kita serahkan ke gereja ketika mengalami saat-saat istimewa dalam kehidupan kita. Tentang persembahan khusus ini, saya menyampaikan jenis-jenis persembahan syukur yang pernah dilaksanakan oleh warga GKJW di berbagai jemaat, yakni, a.l.: Sembuh dari sakit; ulang tahun; naik pangkat/ karier; naik kelas/ lulus ujian; menempati rumah baru; ulang tahun perkawinan; memenangkan tender; membuka usaha baru; dikaruniai putra/i; diterima kerja; memasuki masa pensiun; berhasil menjual rumah/ tanah. Ketika kita memberikan persembahan apa pun dan berapa pun, haruslah dijauhkan dari “harapan tersembunyi” agar Tuhan memberikan kembali berlipatganda dari yang telah kita persembahkan. Kalau disertai “harapan tersembunyi” seperti itu berarti persembahan kita tidak lagi tulus. Bukankah hal itu justru pertanda bahwa semangat mempersembahkan kita adalah semangat materialistis, semangat keserakahan, bukan semangat ucapan syukur? Tentulah hal itu justru bertentangan dengan kehendak Tuhan, bukan? Bagi orang percaya yang dewasa, suka cita hidup dan berkat Tuhan tidak ditentukan oleh harta dan uang. Bandingkan dengan penghayatan Ayub (Ayub 2: 10). Oleh karena itu semangat mempersembahkan adalah semangat untuk semakin mengasihi Tuhan lebih dari hari-hari yang telah lewat. Adalah tugas kita semua untuk terus belajar agar semakin dimampukan untuk semakin dewasa iman. Sebab pertumbuhan gereja yang benar tidak ditentukan oleh uang, tetapi oleh iman warga jemaat yang semakin dewasa. Tentulah juga dipahami bahwa disamping uang, banyak di antara kita yang juga memberikan persembahan yang luar biasa nilainya, a.l.: Tenaga, waktu, keahlian, dlsb.
“Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. -Lukas 6: 43
Sumber : Sumardiyono www.gkjw.web.id

Sejarah GKJW, Bermula dari Pasar

Adalah Johanes Emde, yang lahir di tengah keluarga Kristen dari gereja yang beraliran pietisme (yang mementingkan kesalehan hidup). Sebagai petualang, pada 1811 ia kemudian tinggal di Surabaya dan menjadi seorang tukang arloji. Istrinya, Amarentia Manuel adalah seorang putri priyayi Jawa*.
Pada waktu Pdt. Bruckner -pendeta generasi pertama utusan NZG, badan pekabaran Injil Belanda ke tanah Jawa- menerjemahkan Kitab Suci dalam bahasa Jawa, ia mendapatkan salinannya.
Dalam pandangan Emde dan istrinya, buku tersebut lebih baik disebarluaskan kepada orang-orang Jawa. Lewat perantaraan anak gadisnya (nama?), buku ini diterima penjaja sarung keris (mranggi) yang kemudian dikenal namanya Pak Midah, seorang Madura dari kampung Pegirikan, Surabaya. Peristiwa yang terjadi di pasar hewan pada 1826 ini berlangsung begitu saja, tidak ada kelanjutan apa-apa.
Karena tidak bisa membaca, buku (lebih tepatnya traktat) tersebut diberikan kepada Pak Dasimah, seorang Jawa yang tinggal di daerah Wiyung. Sebagai seorang modin desa, ia lantas berusaha mengerti apa isi dari traktat itu. Mereka merasa heran dan tertarik dengan tulisan pembukanya. Terlebih lagi dengan kata “Putra Allah” dalam sebuah kalimat Purwane Evangelion Saking Yesus Kristus Putrane Allah (”Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah”).
Ternyata yang sedang mereka baca adalah terjemahan Injil Markus. Meski tidak mengerti, mereka terus berusaha menggumuli ‘buku aneh’ tersebut. Apakah mungkin Allah yang Esa memiliki anak? Pengertian yang sangat bertolak belakang dengan kepercayaan yang dimilikinya. Elmu baru apakah ini?
***
Pada saat hampir bersamaan, Coenraad Laurens Coolen, kelahiran Semarang tapi peranakan Rusia-Jawa menjadi seorang sinder blandong (pengawas kehutanan Belanda). Meski ia dididik secara keras agama Kristen, tapi berkat pergaulan yang erat dengan penduduk desa, ia sangat paham dengan ngelmu Jawa.
Pada 1827 Coolen berhenti dari jabatan sinder blandong dan meminta izin membuka hutan di Ngoro (sebelah selatan Jombang). Beberapa waktu lamanya, tempat ini menjadi sangat ramai.Coolen menjadi seorang pemimpin baru. Pada waktu inilah ia juga menerjemahkan Pengakuan Iman Rasuli, 10 Hukum, dan Doa Bapa Kami ke alam bahasa Jawa.
Sekitar tahun 1835 (mungkin 1833) berlangsung upacara perkawinan di desa Wonokuli, dekat Wiyung. Perayaan ini dilangsungkan di rumah Kyai Kunthi, seorang yang sering pergi ke Ngoro dan tinggal beberapa bulan lamanya.
Dalam acara ini, hadir juga Pak Sadimah, salah seorang sahabat Pak Dasimah yang sering mengikuti kumpulan di Wiyung untuk membicarakan ngelmu baru Injil Markus. Ia mendengar kesamaan antara doa yang diucapkan oleh Kyai Kunthi dengan buku yang dipelajarinya.
Saat itu Kyai Kunti tengah melafalkan Pengakuan Iman Rasuli gubahan Coolen. Selama mendengarkan doa itu, Pak Sadimah mengerti bahwa dalam doa-doa itu disebut nama Yesus Kristus, Anak Allah, sama dengan yang mereka pelajari selama ini.
Kejadian ini lalu diceritakan kepada Pak Dasimah. Bukan main senangnya ia. Lalu, bersama kawan-kawannya mereka berangkat ke Ngoro untuk mendengar langsung pengajaran dari Coolen. Oleh Kyai Kunthi mereka diperkenalkan kepada Ditotruno, seorang pembantu Coolen yang mengurusi Desa Ngoro, sebelum akhirnya mereka bertemu langsung dengan Coolen sendiri.
Coolen tentu saja heran melihat kegigihan orang-orang Jawa asal Wiyung ini, karena mereka harus berjalan kaki 25 jam lamanya. Sejak itu, rombongan dari Wiyung ini meguru (berguru) kepada Coolen. Namun mengingat biayanya banyak, belum lagi jalan yang dilalui berat dan sukar, maka selama 5 tahun itu, sekali dalam setahun mereka berkunjung ke Ngoro. Beberapa bulan lamanya mereka mendapat berbagai pengajaran tentang agama Kristen. Sekembalinya mereka ke Wiyung, mereka mengadakan kebaktian setiap hari Minggu, seperti pengajaran yang diberikan Coolen.
***
Pada tahun 1840-1841, sebuah peristiwa yang tidak bisa dianggap kebetulan terjadi lagi. Anak Pak Dasimah yang bekerja sebagai pemotong rumput menawarkan rumputnya ke rumah Emde. Oleh istri Emde, ia ditanya tentang berbagai hal hingga membuatnya yakin bahwa anak Pak Dasimah ini memiliki pengetahuan yang lebih tentang agama Kristen. Oleh karena itu Emde dan istrinya berniat mengundang orang tuanya.
Akhirnya terjadi jua pertemuan itu. Sikap baik ditunjukkan oleh keluarga Emde. Selanjutnya, Emde juga mengunjungi orang-orang Kristen di Wiyung. Hal ini sangat mengherankan Pak Dasimah dan kawan-kawannya karena cara suami-istri ini berbeda dengan Coolen. Selanjutnya mereka menerima berbagai ajaran tentang agama Kristen. Salah satunya adalah soal baptisan, bahan pengajaran yang tidak mereka terima saat berada di Ngoro.
Dengan penuh keyakinan, orang-orang Wiyung ini menghadap Emde agar diperkenankan mengikuti sakramen Baptis, karena mereka sudah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, sudah merasa sebagai orang Kristen. Akhirnya mereka diperkenalkan dengan AW Meyer, pendeta yang menggembalakan jemaat Belanda di kota Surabaya.
Akhirnya, pada 12 Desember 1843, sebanyak 35 orang (18 laki-laki, 12 wanita dan 5 orang anak) menerima sakramen pembabtisan. Tanggal inilah yang pada tahun 1993 lalu diperingati sebagai hari I baptisan cikal bakal GKJW.
Setelah peristiwa ini, Pak Dasimah dan kawan-kawan berkunjung kembali ke saudara-saudara mereka di Ngoro dan meminta penjelasan tentang baptisan ini. Coolen sebenarnya tidak menghendaki jikalau manusia Jawa merasa menjadi sesama orang Belanda. Ia khawatir, dengan baptisan itu mereka menjadi sombong dan merasa diri sama dengan orang Belanda. Karena itu ia marah setelah mengetahui bahwa mereka telah dibaptis.
Pak Dasimah dan para sahabatnya diusir dan dilarang tinggal di Ngoro. Tetapi sebelum pergi, semalam suntuk mereka membicarakan hal itu dengan saudara-saudara di Ngoro. Beberapa orang di antaranya kemudian mengikuti jejak Pak Dasimah dan kawan-kawan untuk mendapatkan baptisan. Ditotruno, salah seorang di antaranya pun mengalami peristiwa serupa. Ia diusir dari Ngoro.
Namun demikian, Ditotruno yang diberi nama baptis Kyai Abisai justru hendak mengikuti jejak Coolen. Ia ingin membuka hutan sendiri. Daerah yang menjadi pilihannya ada di sebelah utara desa Ngoro, kira-kira 10 km jauhnya. Hutan angker bernama Dagangan itu berhasil dibukanya. Banyak orang tertarik sehingga desa ini berkembang pesat. Nama Dagangan kemudian diganti menjadi Mojowarno, karena letaknya tidak begitu jauh dari peninggalan kerajaan Majapahit.
Orang-orang Kristen yang jumlahnya semakin bertambah banyak dan tersebar di mana-mana itu kemudian membentuk pasamuwan-pasamuwan (jemaat). Hingga pada tahun 1931, tepatnya tanggal 11 Desember menggabungkan diri dalam sebuah persekutuan gerejawi bernama Oost Javaansche Kerk (Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing tanah Djawi Wetan).
Perlu diketahui bahwa penggunaan nama Greja Kristen Jawi Wetan (sengaja mempergunakan ejaan bahasa Jawa) tidak dimaksudkan bahwa GKJW sebagai gereja suku. Nama ini hanya menunjukkan tempat (gereja teritorial). Artinya, GKJW terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi jemaatnya. Kenapa hanya di Jawa Timur? Karena di sanalah ladang pelayanannya, bumi tempatnya berpijak. Di luar Jawa Timur, GKJW mengakui keberadaan rekan kerja Allah yang lain.
Sampai sekarang ini, jumlah warga GKJW sudah berkembang menjadi 148.000 orang. Terdiri atas 152 jemaat yang tersebar di 12 Majelis Daerah (klasis), dengan jumlah pepanthan (calon jemaat) sebanyak + 400. Adapun bahasa yang dipakai dalam ibadah minggu beragam, mulai Indonesia, Jawa, Madura (khusus di Sumberpakem), sampai Inggris (temporer di Malang).
Dalam hubungan oikumenis, GKJW terlibat dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI wilayah Jawa Timur-Surabaya dan pusat-Jakarta), Christian Conference of Asia (CCA-Hongkong), World Alliance of Reformed Church (WARC-Genewa), World Council of Churches (WCC-Genewa), United Evangelical Mission (UEM-Germany).
Sementara, dalam hubungan dengan lembaga lain, GKJW terlibat dengan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW-Yogyakarta), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW-Salatiga), Sekolah Tinggi Theologia (STT-Jakarta).
Selain itu, secara intern aktivitas pelayanan GKJW juga merambah pada misi sosialnya. Antara lain lewat Yayasan Kesehatan (YK GKJW) untuk bidang kesehatan. Yasasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK GKJW) untuk bidang pendidikan. Lembaga Pendampingan Masyarakat (LPM GKJW) untuk bidang sosial. Pokja Peningkatan Ekonomi Warga (Pokja PEW) dalam bidang perekonomian.
*catatan:
Peran wanita dalam sejarah GKJW sebenarnya cukup sentral. Hanya saja, text book selama ini menurut kacamata penulis yang notabene Belanda, mengakibatkan peran kaum pribumi terabaikan. Hal ini terbukti dengan peran Amarentia Manuel, istri Johanes Emde serta salah seorang putri mereka. Berdasar kajian ulang, ditengarai Amarentia Manuel-lah yang lebih berperan dalam pemberitaan Kabar Baik kepada orang-orang Jawa. Alasannya, sebagai sesama pribumi, suku Jawa, tentu lebih mudah beradaptasi dan menyelami kebudayaannya ketimbang orang lain yang masih asing. Apalagi, dengan faktor bahasa yang ada, istri Emde tentu lebih menguasainya dengan baik
(Keterangan ini diperoleh dari ibu Sulistiani (istri Pdt. Sri Hadijanto), yang juga termuat dalam buku sejarah Cikal Bakal GKJW Jemaat Surabaya - 2006)
Sumber : www.gkjw.web.id

Webblog GKJW: Mau Kemana?

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika membuat website kini hampir sama mudahnya seperti membuat mie instan. Teknologi blog telah memungkinkan orang membuat website tanpa memerlukan pengetahuan teknis seorang websmaster. Orang berbondong-bondong membuat website. Perilaku pun berubah dari sekedar konsumen informasi menjadi pembagi informasi. Hal ini rupanya juga melanda jemaat-jemaat GKJW.
Dalam waktu hampir bersamaan mencullah website (lebih tepatnya blog) milik jemaat -jemaat GKJW . Melalui mesin pencari saya menemukan sembilan jemaat memasuki dunia cyber dengan berbagai macam variasi. Demikian pula beberapa badan pembantu pemuda dan mahasiswa di tingkat Majelis Agung, Majelis Daerah, maupun Majelis Jemaat sudah hadir di jagad maya ini.
GKJW Lumajang, Pandaan, Babatan, Surabaya, Rungkut, dan Pacitan memilih membuat blog melalui layanan gratis macam blogspot.com dan wordpress.com. Kepraktisan dan kehandalan dua mesin blog ini memang membuat pemakainya tidak perlu pusing-pusing memikirkan domain, hosting, atau membayar iuran bulanan lagi.
Sementara GKJW Caruban, Ngagel dan Sidoarjo memilih jalan yang lebih “rumit” untuk memiliki blog. Tiga jemaat ini menggunakan layanan berbayar dengan membeli domain pribadi dan menyewa hosting server untuk meletakkan blognya masing-masing. Meski harus mengeluarkan biaya, pilihan berbayar ini memberi keleluasaan pada pengguna untuk memodifikasi situs sesuai kebutuhan dan keinginan.
Munculnya blog-blog itu tentu suatu langkah positif bagi jemaat bersangkutan. Namun, saya melihat, kebanyakan blog GKJW itu tidak dioptimalkan dan beberapa diantaranya bahkan tidak dipelihara dengan baik. Gejala-gejala yang terlihat ialah:
• Tidak ada update content. Website-website itu ditinggal pengelolanya setelah memuat satu atau beberapa kali tulisan.
• Tidak pernah diisi sama sekali (dibuat namun tidak pernah diisi).
• Update dengan jarak rentang waktu yang panjang dan tidak rutin.
• Hanya berfungsi sebagai website profil gereja, tidak digunakan sebagai alat komunikasi.
Saya tidak tahu apa yang menjadi sebab hal-hal diatas terjadi. Namun, saya menduga, hal tersebut terjadi karena tidak adanya konsep (baca: visi-misi) yang kuat dalam membuat blog jemaat. Selain itu, lemahnya budaya menulis di lingkungan jemaat dapat juga dapat menjadi faktor lain. Selain itu, masih lemahnya budaya ber-internet di jemaat GKJW dapat jadi menjadi faktor yang paling mendukung terbengkalainya media gereja ini.
Untuk Apa Blog Jemaat Dibuat?
Blog sejatinya adalah alat yang sangat efektif untuk mengembangkan sebuah komunitas (baca: jemaat). Seperti media-media gereja lain blog juga dapat digunakan untuk memuat hal-hal yang bersifat informasi, edukasi, persuasi dan hiburan. Lebih dari itu blog dapat digunakan sebagai sarana komunikasi lintas arah.
Komunikasi tersebut dimungkinkan karena adanya fitur komentar yang ada pada tiap tulisan. Disini pembaca dapat terlibat dalam tiap topik yang dibicarakan secara langsung. Sebuah pendapat dapat disanggah secara langsung. Thesis dilawan dengan antithesis; Namun semuanya tetap dalam semangat membangun jemaat. Saya menyamakan hal ini sebagai rembug warga online. Sungguh suatu hal yang sehat dan bertanggung jawab.
Nah, kesadaran akan dashyatnya kemampuan blog tersebut dapat menjadi modal awal dalam membangun visi dan misi blog jemaat. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa fungsi blog ini nantinya?”, ” Apa isinya?”, atau “Siapa yang mengisinya?” harus dipikirkan dulu oleh jemaat sebelum berpindah ke hal-hal teknis yang cukup ditangani oleh beberapa orang sebagai webmaster/ admin. Setelah visi dan misinya jelas, blog jemaat dibangun.
Sebagai media online milik jemaat, blog seharusnya dikembangkan secara bersama-sama. Blog memungkinkan banyak orang menulis dalam satu blog. Pejabat gereja maupun anggota jemaat biasa semua boleh mengisinya. Selama ini terlihat bahwa hanya webmaster/admin yang mengisi kebanyakan blog GKJW. Hal yang pasti memberatkan jika harus berjuang seorang diri.
Lalu Bagaimana?
Tentu tidak mudah mengajak seluruh anggota jemaat nge-blog karena adanya macam-macam latar belakang jemaat. Namun, sebagai langkah pertama, ada baiknya jemaat membentuk kelompok kecil dari anggota jemaat yang berminat pada komunikasi dan usaha membuat blog jemaat. Komunitas kecil ini kemudian menetapkan aturan main (tentu setelah adanya visi dan misi blog yang jelas). Jika perlu diadakan pelatihan singkat bagaimana mengisi blog ini karena idak semua orang memahami hal-hal teknis meski untuk yang ringan sekalipun. Pembagian topik tulisan (kategori) dipilih dan dilaksanakan secara ketat. Siapa yang mengelola terhadap masing-masing kategori juga ditetapkan. Mereka ini kemudian bertanggungjawab untuk mengisi/mencari content sesuai dengan topik yang dikelola termasuk juga memoderatori komentar-komentar yang masuk.
Dengan demikian blog jemaat akan terpelihara dan terupdate dengan kontinue. Hal ini tentu akan menarik warga jemaat yang lain untuk datang berkunjung berkali-kali (returning visitors). Jika sudah begini akan sangat mudah mengajak anggota jemaat lain ikut berperan aktif karena blog tersebut sudah dianggap sebagai bagian dari diri sendiri. Membangun blog memang menyenangkan untuk pertama kali. Namun bagaimana memelihara dan mengoptimalkan blog untuk perkembangan jemaat jauh lebih penting.
Sumber : www.gkjw.web.id

PHMJ GKJW TUNJUNGSEKAR

Ketua: Pdt. Adi Sanyoto,STh
Wakil Ketua: Pnt Bngun Swasono Adi
Sekretaris I:Dkn Widianto
Sekretaris II: Pnt Widoyo
Bendahara I: Pnt Yusak Sujianto
Bendahara II: Pnt Kristin Tyas Wilupu
Pembantu Umum
Ketua Pok I: Dkn Suman
Ketua Pok II: Pnt Daniel Kristanto
Ketua Pok III: Pnt Mintarto
Ketua Pok IV: Pnt Soeharto
Ketua Pok V: Dkn Teguh Satoto
Ketua Pok VI: Dkn Frima Yuliani
Ketua Pok VII: Pnt Sih Endah S
Ketua Pok VIII: Pnt Sih Adi
Komperlitbang: Pnt Budi Djatmiko
KP2J: Pnt Suhadi
KPPUO: Pnt FEP Tampubolon
Guru Injil: GI Siwi Mangesti Bambang Tejo

Kamis, 21 Januari 2010

SEMANGAT BERLOMBA KELOMPOK 8

Semangat kelompok 8 GKJW Tunjungsekar dalam berlatih Vocal Group untuk mempersiapkan lomba di jemaat sukun yang berulang tahun ke 5 pada tanggal 31 Januari 2010 patutlah diberi aplaus. Dengan warganya yang kurang lebih 13 KK ternyata banyak yang memiliki talenta dalam memuji dan memulyakan Tuhan. Dengan keterbatasan anggota VG 6 penyanyi dan 2 pengiring musik maka tidak semua yang dapat diikut sertakan walaupun banyak yang ingin ikut berlomba dan memeriahkannya. Untuk mempersiapkannya sampai tidak mengenal hari libur hal ini berprinsip bahwa untuk memuji dan memulyakan Tuhan tidak mengenal libur harus selalu dilantunkan.Bp/Ibu/Sdr pok 8 ayo semangat.........semangat......semangat............Tuhan memberkati Bp/Ibu/Sdr dan seluruh keluarga . Ayo kita dukung......dukung........dukung.........maju teruuuuuuuuuuuuus Tuhan memberkati

Senin, 18 Januari 2010

CONTOH PROPOSAL NATAL

PENDAHULUAN

Natal bagi orang percaya memiliki arti yang sangat penting dalam iman. Hal ini disebabkan karena natal merupakan kelahiran Yesus Kristus Sang Juru Selamat umat manusia yang adalah Tuhan , datang kedunia sama dengan manusia .
Tujuan Tuhan Yesus Kristus datang kedunia untuk menyelamatkan orang berdosa, mencari dan menyelamatkan orang berdosa, melajani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang, serta supaya kita mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.
Dengan tujuan seperti diatas yang seperti difrmankan oleh Tuhan dalam Alkitab, maka sangatlah penting jika umat percaya merayakan natal Tuhan Yesus Kristus sebagai rasa syukur dan terima kasih akan berkat anugrah keselamatan dan berkat kelimpahan yang diberikanNya kepada kita umat percaya.

TUJUAN
Tujuan penyelenggaraan Natal bersama ini adalah sebagai berikut:
 Sebagai agenda rutin dan harus bagi gereja
 Sebagai sarana untuk memuji dan memulyakan Tuhan.
 Sebagai sarana bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan atas segala berkhat dan
kelimpahan .
 Sebagai sarana untuk bertemu satu dengan yang lain untuk menjalin tali persaudaraan dalam
kasih seluruh warga Jemaat.

SASARAN
Sasaran penyelenggaraan Natal bersama ini adalah :
 Seluruh warga Jemaat GKJW Tunjungsekar mulai anak-anak, remaja, pemuda dan warga
dewasa
 Undangan

TARGET
Kami menargetkan Natal Jemaat Tunjungsekar Malang pada tahun 2009 akan dihadiri oleh warga jemaat mulai dari anak-anak, remaja, pemuda dewasa, dan undangan kurang lebih sebanyak 770 orang

THEMA
Thema Natal 2009 : “ Tuhan itu baik kepada semua orang ( Mazmur 145:9a ) “
Sub Thema Natal : “ Dalam Keterhimpitan Ada Harapan “

BENTUK KEGIATAN
Merupakan rangkaian Ibadah dan perayaan natal yang tersusun mulai berkhat awal sampai dengan berkhat akhir dan penutup . Di dalam rangkaian ibadah terdapat sosiodrama, solabowo, paduan suara dalam rangkaian cerita dengan thema ” dalam keterhimpitan ada harapan ” ( rangkaian acara terlampir)

SKEDUL KEGIATAN
Skedul Kegiatan Perayaan Natal:
Tahap Kegiatan Waktu
I Persiapan
1. Pembentukan Panitia Kamis, 8 Oktober 2009
2. Penyampaian Program dan Minggu,25 Oktober 2009
Kebutuhan seksi-seksi
serta sumber dana
3. Penyampaian Program seksi-seksi Selasa, 3 Nopember 2009
dan alokasi dana
4. Penyampaian final Program Selasa, 17 Nopember 2009
seksi-seksi dan alokasi dana
II Pemantapan
1. Penyampaian persiapan Minggu, 13 Desember 2009
pelaksanaan masing-masing seksi
2. Latihan sie acara Mulai tanggal 25 nop 2009
Berakhir 12 Des 2009
3. Gladi kotor Minggu, 13 Des 2009
III Pelaksanaan
1. Gladi bersih Senin, 21 Des 2009
2. Pelaksanaan Kamis, 24 Des 2009
IV Penutupan
1. Laporan dan Pembubaran Panitia Selasa, 12 Jan 2010


PELAKSANAAN
Pelaksanaan Perayaan Natal ini akan berlangsung pada :
Tanggal : Kamis, 24 Desember 2009
Waktu : 17.00 WIB s/d selesai
Tempat : Gereja GKJW Tunjungseker


SUSUNAN ACARA
Susunan acara terangkai secara kontinu dalam sebuah skenario seperti terlampir pada proposal ini.

KEUANGAN
PEMASUKAN
1 Kas Jemaat berdasarkan PKT
2 Donatur / Sponsor

PENGELUARAN

I Seksi Acara
1. Kostum
2. Acara
3. Konsumsi Latihan Rp
II Seksi Konsumsi
1. Konsumsi kotak ( Rp. 11.500,- X 770 orang )
2. Konsumsi Gladi bersih
3. Rapat Panitia 4 X
4. Konsumsi Untuk Tetangga sekitar gereja
5.
III Seksi Perlengkapan dan Dekorasi
Perlengkapan
1. Tenda Plafon 4 x 6 ( 3 buah X Rp. 65.000,-)
2.Lighting 250 watt ( 4 buah X Rp. 25.000 )
3. Kursi Plastik ( 200 buah X Rp. 500,- )
4. Diesel 7.500 Watt 1 unit
5. Temporary Panel 1 unit
6. Lepas Power (Loss Strum)
7. Sound System dari Pak Bagus Bethel
8.
Dekorasi Rp. 500.000,-
IVSeksi Dokumentasi
1. LCD dan Layar
2. Video dan 2 camera ( Rp. 990.000 – nn Rp. 690.000,-)
3.
V Seksi Keamanan
1. Transport 20 orang X Rp. 25.000,-
2. Rokok dan camilan R
3.
VI Kesekretariatan




No Jabatan Nama Kelompok Ket/Telp
1 Penanggungjawab Bp. Pdt Adi Sanyoto, STh (Ketua PHMJ)
KPPUO
2 Ketua Pelaksana Bp. Yusak Soedjihanto 3
3 Wakil Ketua Bp. F.E.P. Tampubolon 5
4 Sekretaris Bp. Darmo Wahono 8
5 Bendahara 1. Ibu. Asriningsih 4
2. Bp. Dedi Triyanto 3

6 Seksi - seksi
1. Seksi Acara 1. Sdri. Dore Yulia 2
2. Sdri. Ignasia Heny Susanti 6
3. Ibu Ratna Herawati Pinta 3
4. Bu Dian 5
5. Vikar Gideon
2. Seksi Perlengkapan
1. Bp Iklan Hambali 6
2. Bp. Trimuljoadi 7
3. Bp. Yohanes Ferry Usadani 2
4. Bp. Yodhia 5
5. Bp. Richard 4

3. Seksi Konsumsi KPPWJ ( Ibu Iklan Hambali )

4. Seksi Keamanan
1. Bp. Suhadi 3
2. Bp. Mulyono 8
3. Bagus Hartadi Bethel 7
4. Bp. Yoyok
5. Seksi Dokumentasi
Bp. Daniel Kristanto 2

7 Pembantu Umum Ketua Kelompok I - VIII
1. Ibu. Eni Wismaning 1
2. Bp. Ignatius Riyanto 2
3. Bp. Teguh Hari Cahyono 3
4. Bp. Soeharto 4
5. Bp. Teguh Satoto 5
6. Bp. Widoyo 6
7. Ibu Leonard Mamuko 7
8. Bp. Sih Adi 8

Demikian kegiatan Natal Jemaat GKJW Tunjungsekar Malang tahun 2009 ini kami buat. Besar harapan kami kegiatan ini terwujud dengan lancar, atas perhatian, dukungan moril dan materiil serta kerjasamanya kami ucapkan terima kasih. Kiranya Tuhan memberkati dengan segala kelimpahanNya.

Malang, 17 Nopember 2009
Hormat kami,



Yusak Soedjihanto Darmo Wahono
Ketua Panitia Sekretaris



Mengetahui
PHMJ GKJW Tunjungsekar
Ketua




Pdt. ADI SANYOTO, S.Th

KESAKSIAN

Kesaksaian adalah karya kasih Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari dirumah, di tempat kerja, di masyarakat secara sosial, di gereja, di organisasi ....

Selasa, 12 Januari 2010

THEOLOGIA


Theologia
Pujian kepada Allah yang maha tinggi untuk memulyakannya

Sekilas Mengenal GKJW

Sekilas Tentang GKJW
a. GKJW sebagai gereja teritorial
b. GKJW sebagai Gereja Gerakan Warga
c. Lima bidang pelayanan di GKJW
Disamping trilogi gereja, yaitu persekutuan (=koinonia), kesaksian (= marturia) dan pelayanan cinta kasih (=diakonia), GKJW melengkapi diri dengan bidang teologi dan penatalayanan. Secara singkat kita perhatikan 5 bidang pelayanan tersebut:
1) Bidang Teologi
Bidang ini menangani hal-hal dan kegiatan yang berhubungan dengan pergumulan firman Tuhan dan pembinaan iman warga jemaat. Contoh kegiatan pelayanannya, misalnya menyiapkan bahan untuk Pemahaman Alkitab, pembinaan iman warga dengan berbagai model kegiatan (a.l. ceramah, retret, sarasehan, katekisasi). Secara ideal sebenarnya bidang teologi selalu melandasi setiap kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh jemaat.
2) Bidang Persekutuan
Bidang ini bertugas menangani, melayani dan mengembangkan kegiatan untuk mengentalkan semangat kebersamaan/ persekutuan, mulai dari anak sampai dengan usia lanjut. Sesuai dengan kategori pelayanannya maka bidang pelayanan ini bertujuan agar setiap warga bisa mengambil peranan demi terwujudnya persekutuan dengan Tuhan dan sesamanya dengan sebaik-baiknya. Disamping itu dengan adanya bidang pelayanan ini diharapkan setiap jemaat- secara kategorial- terwadahi kebutuhannya untuk bersekutu.
3) Bidang Kesaksian
Bidang ini bertugas mengadakan pembinaan bagi warga jemaat agar mampu menyatakan jatidirinya sebagai orang percaya terutama ditengah kehidupannya bersama dengan orang-orang lain. Diharapkan melalui cara hidup yang baik dan benar kehadirannya di masyarakat dapat menjadi saksi akan kasih Tuhan Yesus. Pada hakekatnya semua orang percaya terpanggil untuk bisa menjadi saksi Kristus didalam hidupnya.
4) Bidang Pelayanan Cinta Kasih
Kegiatan di bidang ini secara khusus menangani pelayanan untuk mewujudkan cinta kasih Tuhan Allah kepada dunia dan segala isinya agar terwujud kesejahteraan lahir batin. Hal utama dalam pelayanan ini adalah upaya gereja/ orang-orang percaya untuk turut serta bekerja bersama dengan Tuhan agar bumi ini benar-benar disuasanai oleh kasih, sukacita, keadilan, kebenaran dan damai sejahtera bagi seluruh dunia. Dengan demikian kegiatan pada bidang ini bukan hanya memberi sembako atau pengobatan gratis untuk yang kekurangan, namun juga termasuk kedisiplinan kita untuk turut serta menjaga memelihara keutuhan ciptaan. Misalnya: tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan kekerasan kepada sesama, mau berhemat menggunakan sumber-sumber alam, membela hak mereka yang tertindas. [Memang agak disayangkan bahwa sampai dengan saat ini bentuk pelayanan kita di bidang ini masih amat tradisional/ karitatif: yaitu memberi sesuatu yang dalam waktu cepat habis. Semoga ke depan kita semakin mampu menyiapkan program yang memberdayakan dan berkelanjutan. Sudah sejak tahun 1980-an banyak gereja sudah melakukan secara serius pelayanan bidang ini dengan apa yang disepakati bersama, yakni JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation= Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan)].
5) Bidang Penatalayanan
Bidang ini menangani pembinaan dalam hal a.l.: sumber daya manusia, harta milik gereja, juga bagaimana meningkatkan daya, dana dan sarana bagi perkembangan dan pertumbuhan gereja. Contoh sederhana, misalnya bagaimana talenta dan potensi warga jemaat bisa benar-benar diberdayakan untuk memenuhi panggilan Tuhan agar keberadaan gereja benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Ini salah satu tugas dari bidang ini.